JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, UU KKR dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Majelis berpendapat bahwa tidak ada kepastian hukum, baik dalam rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma di lapangan, untuk tujuan rekonsiliasi seperti yang diharapkan. ''Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU itu tidak mungkin dapat diwujudkan karena tak adanya jaminan kepastian hukum,'' kata Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, Kamis (7/12).
Dengan dasar itu, MK menilai, UU KKR secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tak punya kekuatan hukum yang mengikat. Permohonan uji materi UU KKR itu diajukan Asmara Nababan dkk yang diregistrasi dengan nomor 006/PUU-IV/2006. Pemohon mengajukan uji materi atas pasal 27, pasal 44, dan pasal 1 angka 9 UU KKR.
Namun, Jimly menegaskan, dengan pembatalan UU KKR itu, tak berarti MK menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. ''Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, bisa melalui rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum, rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi, dan amnesti secara umum.''
Anggota MK, I Dewa Gede Palguna, berpendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut dia, hanya pasal 27 UU KKR yang bertentangan dengan UUD 1945, itu pun hanya sebagian. Sedangkan pasal 1 angka 9 dan pasal 44, sama sekali tak bertentangan dengan UUD 1945.
Kadiv Advokasi Uji Materil UU KKR, Taufik Basari, meminta pemerintah dan DPR bersikap objektif menilai putusan MK tersebut. ''Dengan dibatalkannya UU KKR ini, pemerintah dan DPR diharapkan tidak menutup ide pembentukan KKR,'' katanya.
Salam proses pembentukannya, menurut dia, UU KKR mengandung kesalahan. Isinya pun sudah merupakan kesalahan. ''Judulnya baik, yaitu KKR. Tapi, isinya itu tak sesuai dengan judul. Kenyataannya, UU KKR itu punya banyak masalah fundamental,'' jelasnya.
Namun, pinta Basari, gagasan mengungkap kebenaran sebagai upaya rekonsiliasi harus tetap ditegakkan. ''Yang dipersoalkan bukan idenya, melainkan alat untuk membangun ide tersebut. Jangan sampai ide itu dibangun atas dasar dan proses yang salah.''
Budayawan Taufiq Ismail menyambut baik putusan MK itu. ''Karena, kalau KKR terus, posisi umat Islam akan terbalik, sebagai tertuduh, harus minta maaf, dan kemudian orang PKI dapat kompensasi,'' katanya.
Dia menilai, pembentukan KKR merupakan bentuk kepintaran rekayasa penganut paham komunis gaya baru. Mereka, kata Taufik, bertopengkan HAM dan demokrasi, berupaya memosisikan umat Islam sebagai tertuduh. Namun, dengan pembatalan ini, habis pula riwayat KKR.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Yusuf Hasyim, mengatakan banyak hal dalam UU KKR yang tak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah. Salah satu yang dia sorot adalah peluang diberikannya rehabilitasi dan kompensasi bagi para tapol dan napol PKI, bila KKR terbentuk. ''Di UU itu, napol tapol PKI berhak dipulihkan pengadilan, minta rehabilitasi, dan mendapatkan kompensasi. Padahal, PKI jelas-jelas berontak,'' kata Yusuf Hasyim.
Pasal-pasal yang Dipermasalahkan
* Pasal 1 angka 9 UU KKR: Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memerhatikan pertimbangan DPR.
* Pasal 27 UU KKR: Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
* Pasal 44 UU KKR: Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM.
Dalil Pemohon:
* Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil; dan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD.
* Pasal 27 UU KKR dinilai bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4).
* Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, pasal 28 I ayat (2), dan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. |sumber infoanda.com
Majelis berpendapat bahwa tidak ada kepastian hukum, baik dalam rumusan norma maupun kemungkinan pelaksanaan norma di lapangan, untuk tujuan rekonsiliasi seperti yang diharapkan. ''Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR sebagaimana yang termaktub dalam pasal 2 dan pasal 3 UU itu tidak mungkin dapat diwujudkan karena tak adanya jaminan kepastian hukum,'' kata Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, di Jakarta, Kamis (7/12).
Dengan dasar itu, MK menilai, UU KKR secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan tak punya kekuatan hukum yang mengikat. Permohonan uji materi UU KKR itu diajukan Asmara Nababan dkk yang diregistrasi dengan nomor 006/PUU-IV/2006. Pemohon mengajukan uji materi atas pasal 27, pasal 44, dan pasal 1 angka 9 UU KKR.
Namun, Jimly menegaskan, dengan pembatalan UU KKR itu, tak berarti MK menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. ''Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, bisa melalui rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum, rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi, dan amnesti secara umum.''
Anggota MK, I Dewa Gede Palguna, berpendapat berbeda (dissenting opinion). Menurut dia, hanya pasal 27 UU KKR yang bertentangan dengan UUD 1945, itu pun hanya sebagian. Sedangkan pasal 1 angka 9 dan pasal 44, sama sekali tak bertentangan dengan UUD 1945.
Kadiv Advokasi Uji Materil UU KKR, Taufik Basari, meminta pemerintah dan DPR bersikap objektif menilai putusan MK tersebut. ''Dengan dibatalkannya UU KKR ini, pemerintah dan DPR diharapkan tidak menutup ide pembentukan KKR,'' katanya.
Salam proses pembentukannya, menurut dia, UU KKR mengandung kesalahan. Isinya pun sudah merupakan kesalahan. ''Judulnya baik, yaitu KKR. Tapi, isinya itu tak sesuai dengan judul. Kenyataannya, UU KKR itu punya banyak masalah fundamental,'' jelasnya.
Namun, pinta Basari, gagasan mengungkap kebenaran sebagai upaya rekonsiliasi harus tetap ditegakkan. ''Yang dipersoalkan bukan idenya, melainkan alat untuk membangun ide tersebut. Jangan sampai ide itu dibangun atas dasar dan proses yang salah.''
Budayawan Taufiq Ismail menyambut baik putusan MK itu. ''Karena, kalau KKR terus, posisi umat Islam akan terbalik, sebagai tertuduh, harus minta maaf, dan kemudian orang PKI dapat kompensasi,'' katanya.
Dia menilai, pembentukan KKR merupakan bentuk kepintaran rekayasa penganut paham komunis gaya baru. Mereka, kata Taufik, bertopengkan HAM dan demokrasi, berupaya memosisikan umat Islam sebagai tertuduh. Namun, dengan pembatalan ini, habis pula riwayat KKR.
Pengasuh Ponpes Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, KH Yusuf Hasyim, mengatakan banyak hal dalam UU KKR yang tak menyelesaikan masalah, tapi justru menimbulkan masalah. Salah satu yang dia sorot adalah peluang diberikannya rehabilitasi dan kompensasi bagi para tapol dan napol PKI, bila KKR terbentuk. ''Di UU itu, napol tapol PKI berhak dipulihkan pengadilan, minta rehabilitasi, dan mendapatkan kompensasi. Padahal, PKI jelas-jelas berontak,'' kata Yusuf Hasyim.
Pasal-pasal yang Dipermasalahkan
* Pasal 1 angka 9 UU KKR: Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memerhatikan pertimbangan DPR.
* Pasal 27 UU KKR: Kompensasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 19 dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan.
* Pasal 44 UU KKR: Pelanggaran HAM yang berat yang telah diungkapkan dan diselesaikan oleh Komisi, perkaranya tidak dapat diajukan lagi kepada pengadilan HAM.
Dalil Pemohon:
* Pasal 1 angka 9 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil; dan pasal 28 I ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan, untuk menegakkan dan melindungi HAM sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis sehingga pelaksanaan HAM harus dijamin UU yang sesuai dengan UUD.
* Pasal 27 UU KKR dinilai bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945, pasal 28 D ayat (1), pasal 28 I ayat (2), serta pasal 28 I ayat (4).
* Pasal 44 UU KKR bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, pasal 28 I ayat (2), dan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945. |sumber infoanda.com
0 komentar:
Posting Komentar