Koalisi
Masyarakat Komunikasi dan Informasi (MAKSI) berharap rencana Qanun Penyiaran di Aceh ditinjaukembali dan didiskusikan secara terbuka dengan melibatkan masyarakat luas,karena isinya bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pernyataan MAKSI ini dikeluarkan dalam diskusi publik “Rencana Pemberlakuan Qanun Penyiaran Aceh: Masalah dan Ancaman” yang diselenggarakan di Jakarta, 26 Mei 2010.
Draft qanun
(peraturan daerah) Penyiaran tersebut disusun oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nangroe Aceh Darussalam. Rancangan qanun tersebut dimaksudkan untuk mengatur lembaga penyiaran di Aceh sesuai dengan syariat Islam. Jika ditilik dari substansi peraturannya, rancangan qanun tersebut mengandung ketentuan-ketentuan yang menjadikan penyiaran ditujukan hanya untuk kepentingan umat Islam, antara lain: lembaga penyiaran wajib menyiarkan azan shalat lima waktu, tanda waktu berbuka dan imsyak saat puasa, siaran langsung sholat Jumat, menghentikan siaran relay saat azan, memproteksi siaran yang tidak sesuai dengan nilai Islam, dan mensy’arkan
syariat Islam. Semua ini diatur dalanm pasal 5 rancangan qanun tersebut.
Menurut pasal 7
ayat (2), penyiar, presenter, reporter maupun narasumber dan semua yang
terlibat dalam kegiatan siaran wajib mengenakan busana yang sopan, Islami, atau
tradisi Aceh.
Selain, pasal 6
ayat (1) rancangan qanun tersebut melarang siaran langsung acara penggalangan dana, pendidikan, dokumenter, film, sinetron, darama, feature (beritainvestigasi), lagu, musik, iklan, pelayanan kesehatan, kuis, selain untuk kepentingan Islam. Sedangkan ayat (2) pasal yang sama melarang siaran interaktif saat shalat tarawih berlangsung. Acara yang menjurus dakwah agama selain Islam juga dilarang. Peringatan hari valentine juga tak dibolehkan disiarkan di Aceh. Begitu juga rekonstruksi kasus pidana. Siaran iklan selain produk berlabel halal juga dilarang oleh rancangan qanun ini.
Semua siaran harus mendapat persetujuan KPID dan masyarakat sebelum ditayangkan, demikian
aturan pasal 6 ayat (8).
Berdasarkan
rancangan qanun ini akan dibentuk Lembaga Sensor Daerah. Setiap film, sinetron, iklan, program komedian, program musik, klip video, program feature/dokumenter dan ilmu pengetahuan wajib lulus sensor. Hal ini diatur dalam pasal 12. Selain itu, setiap program siaran harus mendapat Rekomendasi kelayakan, yang dibuat
oleh KPID atas saran dan pertimbangan dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dan Majelis Adat Aceh (MAA).
Maksi menilai,
ketentuan-ketentuan di atas bertentangan dengan demokrasi penyiaran, di mana keberagaman isi siaran dijunjung tinggi. Hal tersebut juga bertentangan dengan Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, di mana isi siaran diatur Komisi Penyiaran Indonesia Pusat melalui Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Perilaku Penyiaran (SPS).
Maksi menjunjung
tinggi konten-konten siaran lokal yang menjunjung tinggi adat dan budaya lokal. Namun demikian penghargaan terhadap budaya lokal ini tidak boleh berakibat pada dibatasinya penyiaran sehingga menjadi tidak demokratis.
Oleh karena itu, Maksi meminta agar rancangan qanun tersebut diperbaiki dan dibuat berdasarkan standar-standar aturan yang demokratis.
Rabu, 26 Mei 2010 | 13.15 | 0 Comments
Qanun Penyiaran Aceh Mengancam Demokrasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar